Perbincangan tentang konservatisme belakangan makin sering muncul di banyak negara. Di tempat yang ekonominya maju maupun yang masih berkembang, arus ini terlihat kembali kuat.
Eropa, Amerika Serikat, Asia, sampai Afrika. Semua kebagian. Latarnya jelas: perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi melaju kencang, kadang melampaui kesiapan sebagian orang.
Akibatnya, konservatisme sering disederhanakan sebagai sikap anti perubahan. Tapi apakah memang sesempit itu?
![]() |
| Photo by Dhanil Prayudy Wibowo @pexels.com |
Banyak yang menilai konservatisme menghambat laju kemajuan. Gagasan yang dianggap progresif seperti kebebasan berekspresi, hak kelompok minoritas, atau emansipasi perempuan kerap berbenturan dengan arus yang lebih menjaga tradisi.
Hanya saja, ia tidak hadir dari ruang hampa. Ada faktor psikologis dan sejarah yang membentuknya, terutama di negara dengan pengalaman kolonialisme. Rasa takut kehilangan identitas nasional menjadi akar yang jarang dibicarakan terus terang.
Lewat tulisan ini, kita coba melihat konservatisme sebagai mekanisme perlindungan ekstra terhadap identitas nasional yang pernah goyah. Jejak trauma sejarah meninggalkan bekas. Bekas itu ikut menentukan cara masyarakat merespons perubahan hari ini.
Konservatisme Bukan Hanya Soal Menolak Perubahan
Label konservatif kerap disamakan dengan sikap kolot. Nyatanya, arus ini juga kuat di negara maju.
Brexit di Inggris dan seruan Make America Great Again di Amerika Serikat adalah contoh konkret. Keduanya lahir dari dorongan melindungi identitas nasional yang dianggap tergerus arus globalisasi.
Di negara bekas jajahan, logika serupa tampil dalam bentuk lain. India menonjolkan kembali nasionalisme yang lebih konservatif. Untuk menangkis pengaruh Barat. Indonesia sering mengangkat narasi nilai nilai Pancasila. Saat menanggapi perubahan sosial.
Intinya adalah kebutuhan akan rasa aman. Di tengah ketidakpastian. Ketika perubahan terasa terlalu cepat. Sebagian orang kembali merapat ke nilai lama sebagai pegangan.
Di negara bekas koloni. Kebutuhan ini terasa lebih kuat karena ada pengalaman tekanan terhadap identitas di masa lalu. Nilai lama dijaga erat, seolah perubahan selalu datang membawa ancaman.
Contohnya terlihat setelah Reformasi 1998 di Indonesia. Semangat memperbarui aturan dan institusi disertai kegelisahan. Tentang pudarnya tradisi dan norma sosial.
Di sejumlah negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya, nilai nilai tradisional juga diutamakan. Saat berhadapan dengan pengaruh luar. Di Amerika Latin, nasionalisme konservatif kerap dipakai sebagai alat legitimasi politik.
Konservatisme tumbuh dari takut akan hilangnya identitas. Ia jadi respons terhadap tekanan yang datang bergelombang. Bukan hanya pilihan politik, tapi juga semacam naluri bertahan hidup.
Trauma Sejarah dan Ketakutan Kolektif
Kenapa rasa takut kehilangan identitas bisa sedalam itu? Jawabannya berkait dengan trauma sejarah. Terutama di tempat yang pernah dijajah. Kolonialisme tidak hanya menindas tubuh. Tetapi juga mencoba menggeser identitas budaya lokal.
Demi kepentingan penguasa. Bahasa, agama, dan sistem pendidikan. Mengalami perubahan besar. Setelah merdeka, muncul dorongan kuat untuk merebut kembali apa yang dianggap sebagai identitas asli, meski batasnya tidak selalu jelas.
Dari trauma itulah konservatisme bekerja. Sebagai perlindungan kolektif. Setiap gagasan baru dari luar, walau mungkin bermanfaat, sering dipandang dengan curiga.
Globalisasi dan adopsi nilai asing kerap ditahan. Isu seperti hak minoritas atau kesetaraan gender ditolak dengan alasan menjaga identitas nasional. Ada negara yang membatasi perubahan sosial. Biasanya atas nama tradisi lokal.
Sisi baiknya, perlindungan seperti ini menjaga keberlanjutan tradisi. Dan memperkuat rasa kebersamaan. Tetapi jika dijalankan kaku, ia menutup ruang adaptasi.
Pertanyaannya, apakah rasa curiga terhadap perubahan selalu buruk? Banyak contoh menunjukkan hal kebalikannya. Jepang misalnya. Sanggup memelihara tradisi kuno. Sambil maju dalam teknologi modern.
Pelajaran lain: identitas nasional itu dinamis, bukan benda beku. Ia bisa berubah pelan pelan tanpa kehilangan inti. Tantangannya adalah menemukan titik seimbang antara menjaga identitas dan siap berinteraksi dengan arus global.
Penutup
Singkatnya, konservatisme tidak sesederhana sikap anti perubahan atau nostalgia masa lalu. Ia lahir dari proses psikologis dan sosial yang berakar pada trauma sejarah.
Terutama di tempat yang identitasnya pernah ditekan oleh penjajahan. Konservatisme menjadi cara menjaga sesuatu yang dulu terancam, yaitu identitas nasional.
Tetapi perlindungan berlebihan mudah berubah menjadi sikap tertutup yang menolak inovasi yang sebenarnya berguna. Pekerjaan rumahnya adalah menata keseimbangan.
Tradisi dan identitas perlu dirawat, tanpa ketakutan berlebihan pada hal baru. Identitas tidak akan hilang hanya karena menerima inovasi. Dengan keterbukaan yang terarah, identitas justru bisa bertahan dan berkembang.
Jadi ketika konservatisme tampak menguat di berbagai tempat, mungkin ini sebagai bagian dari penyembuhan kolektif dan usaha merapikan ulang jati diri. Bukan sekadar rasa takut pada dunia yang berubah cepat, melainkan cara untuk merasa utuh sambil belajar beradaptasi.

Posting Komentar untuk "Trauma Sejarah Mendorong Konservatisme Sebagai Benteng Identitas"