Mari ambil jeda sejenak dari riuhnya linimasa. Pernah merasa ada yang janggal tiap muncul berita keracunan massal terkait program makan bergizi gratis (MBG)? Terutama ketika pernyataan pejabat dirilis. Pilihan katanya nyaris selalu aman, licin, dan jauh dari pengakuan 'salah' atau 'gagal'.
![]() |
| Photo by Julia M Cameron @Pexels |
Beberapa waktu terakhir, sejumlah siswa sakit setelah menerima makanan dari program MBG. Bukannya ada pengakuan distribusi atau pengawasan pangan yang belum beres, kita malah mendengar istilah seperti 'alergi' atau 'keteledoran dapur'. Jadi kepikiran, ini sekadar alasan darurat untuk meredam panik? Atau sudah jadi pola yang mengakar di birokrasi?
Lewat tulisan ini, saya mengajak kamu menelusuri kenapa eufemisme begitu sering dipilih. Bukan cuma trik komunikasi sementara, tapi pelan-pelan berubah menjadi norma yang berisiko merusak masa depan akuntabilitas negara.
Bahasa Eufemistik: Perisai atau Kebiasaan?
Dalam banyak obrolan soal birokrasi, pertanyaan yang muncul itu-itu saja: “Kenapa tidak ada yang berani menyebut ini kegagalan?”
Kalau ditelusuri, istilah alergi, keteledoran, atau kasus biasa seperti template yang selalu muncul setiap ada masalah di MBG. Terasa ada usaha menghindari kata gagal.
Kenapa bahasa halus lebih dipilih? Bukan semata untuk mencegah kepanikan atau menjaga citra. Ia sudah tumbuh menjadi budaya. Semacam SOP tak tertulis yang diwariskan dari satu krisis ke krisis lain.
Begitu ada kasus besar, entah kelangkaan pangan, banjir, atau keracunan MBG, polanya mirip: meminimalkan kata gagal, menggantinya dengan istilah netral, kadang melemparnya ke keadaan atau pihak di luar sistem.
Dalam kasus MBG, “alergi” jadi jawaban instan, padahal belum tentu tepat. Sementara “keteledoran dapur” menyederhanakan masalah dan menutupi akar persoalan: tata kelola yang lemah dan kontrol mutu yang tidak rapat.
Di sosiologi, eufemisme dikenal sebagai mekanisme pertahanan sosial. Bukan sekadar penghalus, melainkan tameng untuk menghindari konfrontasi dan, seringnya, mengaburkan realitas.
Di birokrasi, eufemisme dipakai untuk menjinakkan kegagalan. Lama-lama, publik jadi tumpul. Kegagalan terasa wajar, seperti “kecelakaan yang tidak disengaja”.
Pertanyaannya, sampai kapan masyarakat akan menerima penjelasan seperti ini? Apakah publik sudah lelah berharap ada pengakuan jujur, atau memang dibiasakan untuk tidak berharap banyak?
Jika dibiarkan, normalisasi bahasa eufemistik membuat kita “mati rasa”. Masalah diberi label “aman” atau “wajar”, lalu selesai. Tanpa penyelidikan, tanpa perbaikan sistem, tanpa permintaan maaf.
Semuanya jadi terlalu ringkas. Di situlah bahayanya. Eufemisme bukan sekadar pilihan kata, melainkan cermin budaya birokrasi yang enggan berhadapan dengan kenyataan.
Efek Jangka Panjang: Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan?
Penggunaan eufemisme dalam kasus MBG bukan sekadar urusan cara bicara. Ada efek domino yang sering luput: tanggung jawab yang menguap.
Saat “alergi” atau “keteledoran” dipakai, publik kesulitan menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab. Akhirnya, yang disalahkan adalah “faktor X” yang abstrak, tanpa pelaku yang jelas.
Dalam masyarakat yang sehat, setiap masalah punya penanggung jawab. Budaya eufemistik membuat garis itu kabur. Begitu kata “alergi” dilontarkan, publik diarahkan menganggapnya insiden medis biasa. Bukan kegagalan distribusi atau pengawasan.
Ketika “keteledoran dapur” disebut, fokus bergeser ke petugas lapangan, sementara persoalan struktural tetap tak tersentuh.
Pelan-pelan, akuntabilitas terkikis. Desakan evaluasi menyeluruh melemah, perbaikan sistem menghilang dari agenda. Kasus tenggelam jadi angka, bukan pemicu perubahan.
Dampak panjangnya jelas: apatisme. Orang berhenti kritis. Padahal di balik istilah “aman” atau “alergi”, bisa tersembunyi sistem yang rapuh, prosedur yang lompat, dan pengawasan yang longgar.
Saat eufemisme dinormalisasi, budaya akuntabilitas ikut memudar. Anak-anak yang terdampak MBG dianggap “kurang beruntung”, bukan korban kegagalan sistemik. Kasus boleh berulang, tapi dorongan untuk memperbaiki makin redup.
Sulit untuk tidak kecewa pada tren semacam ini. Publik berhak atas kejelasan dan kejujuran, terlebih ketika menyangkut kesehatan dan keselamatan. Eufemisme bukan hanya menutupi masalah. Ia diam-diam mengubah cara masyarakat berpikir, dari kritis menjadi pasrah.
Bayangkan praktik ini terus berlangsung 5-10 tahun ke depan. Apakah kita akan kebal terhadap kegagalan, atau justru makin tidak percaya pada pemerintah?
Sudah waktunya berhenti bersandar pada eufemisme. Keterbukaan dan kejelasan memang tidak selalu nyaman, tetapi jauh lebih sehat dibanding kata-kata halus yang meredakan sesaat sambil menumpuk masalah di belakang layar.
Penutup
Pemerintah tidak perlu lagi bersembunyi di balik istilah yang mengaburkan fakta dalam menjalankan program publik, termasuk MBG. Kata-kata seperti “alergi” atau “keteledoran” yang dipakai sebagai selimut justru memperpanjang masalah dan menunda penanganan nyata.
Yang dibutuhkan adalah pengakuan kekeliruan secara transparan, tanggung jawab yang terbuka, dan evaluasi menyeluruh atas sistem yang berjalan. Selama komunikasi resmi berdiri di atas eufemisme, kepercayaan publik akan terus tergerus.
Akhiri kebiasaan menormalkan kegagalan dengan bahasa penghalus. Bangun tradisi bicara jujur dan bertanggung jawab. Dengan itu, program seperti MBG bisa benar-benar membawa manfaat, dan masyarakat tidak lagi menjadi korban pola komunikasi yang menyesatkan.
Perubahan ada di tangan para pemegang amanah. Saat kejujuran dijadikan prioritas, kepercayaan tumbuh, dan siklus kegagalan punya peluang nyata untuk berhenti.

Posting Komentar untuk " Normalisasi Eufemisme di Program Pemerintah Merusak Akuntabilitas"