Setiap kali berita TV atau media online menyiarkan bahwa tingkat pengangguran terbuka turun, rasanya ada sedikit lega. Setelah masa pandemi, kabar seperti itu cukup menenangkan.
Angkanya kini di bawah 5 persen, tepatnya sekitar 4,7 sampai 4,9 persen menurut Badan Pusat Statistik. Angka ini sering diangkat pemerintah dan para pengamat sebagai tanda pasar kerja membaik.
![]() |
| Ilustrasi pekerja informal. (Photo by Quang Nguyen Vinh/Pexels) |
Saya sendiri sudah tidak di usia cari kerja pertama. Saya kepala empat lewat, tapi tiap hari tetap mengikuti isu dunia kerja lewat media sosial. Hampir tiap minggu ada saja curhat anak muda atau fresh graduate soal susahnya mendapat pekerjaan yang layak.
Di satu sisi, data nasional seolah berkata lowongan makin banyak. Di sisi lain, cerita dari lapangan, dari Instagram, Twitter, sampai grup WhatsApp, menunjukkan realitas lain. Dimana kerja kerap hanya status, bukan tiket menuju masa depan yang lebih aman.
Bisa jadi kita terlalu terpaku pada berapa banyak orang yang bekerja. Lalu kurang memberi sorotan pada kualitas pekerjaan itu sendiri. Mungkin yang sedang terjadi memang bukan krisis jumlah kerja. Tapi krisis kualitas kerja.
Kerja Ada, Tapi Pekerjaan Bermutu Langka
Coba tengok datanya. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun itu benar. Namun hampir 60 persen pekerja Indonesia berada di sektor informal. Artinya, mereka bekerja, tetapi tanpa kontrak tetap. Tanpa perlindungan sosial. Tanpa jenjang karier yang jelas.
Saya teringat satu status yang sempat viral di Twitter:
Aku scroll jobstreet tuh banyak banget yang jam kerjanya seminggu full dari pagi sampai sore, tapi gaji cuma 1 sampai 1,5 juta. Gila aja, disuruh nggak milih-milih kerjaan, padahal aku masih mau hidup sehat.
Ungkapan semacam ini muncul berkali-kali, baik di story Instagram maupun grup alumni. Ada lowongan dengan jam kerja panjang, gaji di bawah standar, dan tuntutan multi-skill untuk satu posisi.
Intinya, banyak orang memang bekerja, tapi mayoritas tidak mendapatkan good jobs. Pekerjaan yang tersedia tidak memberi stabilitas, tidak menawarkan prospek, dan sulit dijadikan pijakan untuk membangun karier.
Ironisnya, di atas kertas mereka sudah tidak tercatat sebagai pengangguran. Nyatanya, mereka terjebak dalam dunia kerja yang serba tidak pasti. Tidak sedikit yang mendadak terkena PHK karena kontrak harian, upah di bawah UMR, atau beban kerja yang berlebihan.
Bagi fresh graduate, pengalaman pertama seperti ini terasa seperti masuk lorong gelap. Ada pintu masuk, tapi tidak ada petunjuk keluar.
Mengapa Fresh Graduate dan Pekerja Baru Susah Menemukan Good Jobs?
Kenapa fenomena ini makin terasa? Bukankah generasi sekarang lebih berpendidikan dan aktif mencari peluang?
Masalah utamanya, pertumbuhan ekonomi dan arus investasi belum menciptakan cukup banyak pekerjaan formal yang bermutu. Struktur industri masih didominasi usaha mikro dan kecil. Perusahaan menengah, yang biasanya menyediakan jalur pengembangan karier, jumlahnya terbatas.
Akibatnya, lowongan formal dengan jalur jenjang yang jelas jadi makin langka. Fresh graduate dan pekerja baru berebut posisi di perusahaan besar. Sisanya terpaksa mengambil pekerjaan informal dengan segala ketidakpastian.
Sering juga terjadi, lowongan entry level meminta pengalaman dua sampai tiga tahun. Jobdesc yang idealnya dikerjakan satu tim, dibebankan ke satu orang. Upah yang ditawarkan pun kadang di bawah UMR, dengan contoh yang paling sering disebut adalah UMR Jogja yang terendah secara nasional.
Tak heran kalau rasa gagal dan minder muncul di kalangan anak muda. Bukan karena mereka kurang kemampuan. Banyak yang sejak kuliah sudah magang, freelance, atau ikut pelatihan.
Akar persoalannya ada pada sistem yang belum ramah bagi pekerja baru. Investasi padat karya melambat, perusahaan menghemat biaya dengan mempekerjakan sedikit orang untuk banyak tugas, dan perlindungan bagi pekerja informal masih minim.
Ujungnya adalah mismatch antara jumlah lulusan baru dan jenis pekerjaan yang tersedia. Lowongan memang ada, tetapi didominasi pekerjaan informal atau kontrak pendek. Sementara pekerjaan bermutu yang bisa menopang masa depan, good jobs, makin eksklusif dan susah diakses.
Dampak Krisis Kualitas Kerja: Bukan Cuma Soal Ekonomi
Melihat statistik saja tidak cukup. Krisis kualitas kerja punya dampak yang lebih dalam.
Saya sering membaca curhat anak muda yang burnout karena harus menambal kebutuhan bulanan dengan bekerja di beberapa tempat sekaligus. Ada juga yang kehilangan percaya diri karena lamaran kerja hanya dibalas template, atau bahkan tidak direspons sama sekali.
Situasi ini berpotensi melahirkan generasi overachievement dengan mental rapuh. Banyak yang akhirnya berhenti mengejar kerja formal. Lalu beralih ke freelance. Merintis usaha kecil. Atau mencoba peruntungan di luar negeri.
Kualitas pekerjaan yang buruk bukan hanya memukul harapan ekonomi, tetapi juga menggerus optimisme.
Lama-lama muncul pertanyaan yang menyakitkan. “Apa saya memang tidak cukup bagus?” Padahal masalah utamanya adalah sistem yang belum memberi ruang tumbuh. Bukan kemampuan individu.
Krisis kualitas kerja adalah alarm yang nyata. Bukan lagi soal siapa yang dapat kerja, melainkan seberapa layak kerja itu menopang hidup dan masa depan.
Penutup
Statistik untuk menilai arah kebijakan, itu jelas penting. Tapi hidup sehari-hari tak pernah bisa sepenuhnya direduksi menjadi angka di kertas. Pertanyaan kita seharusnya bukan cuma sudah kerja atau belum?. Melainkan, apakah kerja ini layak, aman, dan memberi masa depan?
Ke depan, pemerintah dan para pemangku kepentingan diharap tak hanya mengejar penurunan angka pengangguran. Tapi juga mencipta lebih banyak pekerjaan bermutu. Yang memberi kepastian. Upah layak. Dan rasa percaya diri bagi generasi berikutnya.
Karena di dunia kerja, kita tidak hanya butuh pintu masuk. Kita juga butuh jalan yang jelas untuk tumbuh dan bertahan.

Posting Komentar untuk "Krisis Nyata Kualitas Kerja, Jaminan Masa Depan Kian Langka"