Bahasa Tak Lagi Soal Bicara, Tapi Soal Siapa Kamu

Pernah nggak lagi scroll Instagram, ketemu caption yang tiba-tiba nyampur Inggris? Atau pas nongkrong di coffee shop, obrolan jadi campur aduk Inggris Indonesia, padahal semuanya orang lokal. Kadang saya mikir, ini beneran demi jelasnya komunikasi, atau biar kesannya naik kelas?


Di kota besar, Bahasa Inggris terasa punya kasta sendiri. Nggak cuma di medsos atau tongkrongan, tapi juga di kantor. Banyak lowongan minta TOEFL, IELTS, atau tulisan proficient in English, sementara kerja hariannya tetap pakai Bahasa Indonesia. UKBI, yang jelas-jelas alat ukur kemampuan berbahasa kita sendiri, jarang sekali dilirik.

Ilustrasi bahasa asing. (Photo by Pixabay)


Ini bukan soal satu dua orang. Di balik pilihan bahasa, ada simbol status yang mau ditampilkan. Buat banyak orang urban, Bahasa Inggris bukan cuma alat ngomong, tapi semacam tiket masuk ke lingkar sosial tertentu. Sejak kapan Bahasa Inggris berubah jadi kartu anggota tak resmi kelas menengah baru? Dan kenapa Bahasa Indonesia, yang mestinya jadi kebanggaan, malah terasa biasa aja di mata banyak orang kota?


Bahasa Inggris sebagai Simbol Status di Tengah Urbanisasi


Saya pernah ada di momen saat ngomong Inggris terasa lebih pas, misalnya waktu meeting. Ada yang nyeletuk deliverables, alignment, padahal semua paham Bahasa Indonesia. Saya ikut kebawa, karena terasa lebih profesional.


Lama-lama kerasa, di banyak situasi Bahasa Inggris jadi alat validasi. Seolah-olah itu lencana yang bilang kita modern dan berwawasan global. Di kafe, iced tea bisa lebih mahal dari es teh. French fries kedengarannya lebih mewah daripada kentang goreng. Menu Indonesian Salad with Peanut Sauce bisa dipatok lebih tinggi dibanding gado-gado. Papan iklan di pusat kota sengaja ditulis Inggris biar kesannya eksklusif.


Di dunia kerja juga mirip. TOEFL atau IELTS sering jadi syarat, sementara UKBI dikesampingkan. Padahal mayoritas pekerjaan tetap pakai Bahasa Indonesia.


Intinya, ada hasrat untuk diakui. Bahasa Inggris jadi jalan pintas supaya orang melihat kita profesional dan berkelas. Jadi bukan sekadar kebutuhan, melainkan cara menempatkan diri di mata orang lain.


Sekarang Bahasa Inggris menempel pada citra kelas menengah baru. Ada rasa bangga kalau bisa ngobrol Inggris, apalagi di depan orang yang dianggap belum ke sana. Jadi lencana kehormatan, penanda bahwa kita melek global.


Kalau dilihat sosiologis, kota besar dipenuhi persaingan identitas. Orang berlomba menunjukkan dirinya lewat gaya hidup sampai cara bicara. Bahasa Inggris jadi pembeda halus antara yang punya akses dan yang belum. Lingkungan memperkuatnya. Anak muda merasa harus bisa Inggris supaya terlihat keren atau open minded. Caption IG sering sengaja disisipi istilah Inggris, walau isinya tetap keseharian lokal. Bahasa berubah jadi alat seleksi sosial.


Apakah salah? Nggak juga. Dunia makin terbuka, kemampuan bahasa asing memang penting. Tapi kalau ujungnya bahasa dipakai untuk naik kasta, di situ masalahnya. Komunikasi turun ke nomor dua, validasi sosial jadi nomor satu.


Efeknya merambat. Ketika Bahasa Inggris ditaruh di singgasana, Bahasa Indonesia seolah jadi pilihan tengah yang oke tapi nggak bikin wow, dan bahasa daerah makin tenggelam. Waktu kuliah, saya punya teman dari Jawa Tengah yang awalnya bangga logat daerahnya. Lama-lama dia berusaha netral, bahkan ikut gaya Jaksel yang campur Inggris Indonesia karena takut dibilang kampungan.


Pelan-pelan, ekosistem urban menyisihkan bahasa lokal. Anak-anak kota makin jarang dengar, apalagi pakai, bahasa ibu mereka. Semuanya seragam, rapi, tapi makin jauh dari akar. Bahasa Indonesia sendiri kehilangan makna sebagai ruang pemersatu, terjepit antara gengsi dan fungsi.


Ujungnya, bahasa bukan lagi ruang tengah yang inklusif. Ia berubah jadi piramida sosial yang makin sempit di puncak.


Mengembalikan Bahasa ke Fungsinya, Bukan Gengsinya


Saya sama sekali nggak menolak pentingnya Bahasa Inggris. Hidup di dunia yang batasnya kabur, kemampuan bahasa asing ya perlu. Tapi proporsinya harus pas. Bahasa Inggris jangan jadi mahkota yang disembah, apalagi kalau hanya untuk adu gengsi.


Bahasa Indonesia, lambang persatuan kita, jangan sampai turun kasta. Sudah saatnya kita mengembalikan bahasa ke fungsi utamanya, alat untuk menyampaikan makna, bukan alat validasi. Nggak usah takut terlihat kurang keren kalau bicara pakai Bahasa Indonesia. Yang penting isi pembicaraan, bukan hiasan bahasa asing di tiap kalimat.


Kalau kamu masih ragu buat bangga pakai bahasa daerah, ingat ini: identitas itu akar. Tanpa akar, pohon apa pun gampang roboh.


Sudah saatnya kita berhenti lomba gaya lewat bahasa asing. Yang mestinya kita tonjolkan bukan siapa yang paling sering pakai Inggris. Tapi siapa yang paling bisa memberi makna lewat kata. Apa pun bahasanya.

Posting Komentar untuk "Bahasa Tak Lagi Soal Bicara, Tapi Soal Siapa Kamu"