Lapak Motret dan Rasa Memiliki yang Diam-Diam Menguasai Ruang Publik

Kita nyaris sepakat soal satu hal, bahwa ruang publik milik bersama. 

Bisa jadi itu taman kota, trotoar, sudut estetik di pinggir jalan, tempat orang lewat, duduk santai, atau berkarya tanpa perlu identitas khusus.

Belakangan, ada pergeseran yang sering lolos dari radar. 

Tekanan dunia kerja makin besar, peluang formal makin tipis. 

Photo by Flint Huynh
Ruang publik lalu bergeser fungsi. 

Bukan sekadar sarana sosialisasi atau rekreasi, tapi juga sumber daya ekonomi. 

Terutama bagi pekerja gig seperti fotografer, videografer, dan kreator sejenis.

Pertanyaannya muncul begitu saja, untuk saya dan untuk kamu. 

Apakah ruang publik hari ini masih betul-betul publik? 

Atau diam-diam sudah jadi lahan ekonomi yang diperebutkan, bahkan kadang diklaim tanpa dasar hukum?

Ruang Publik yang Tak Lagi Netral

Fenomena lapak motret menunjukkan perubahan itu dengan terang. 

Di banyak taman kota dan area yang fotogenik, muncul pola baru: berebut lokasi, saling klaim, dan tumbuhnya rasa memiliki yang tidak resmi.

Contohnya kasus yang sempat viral di Tebet Eco Park, taman yang sejak awal diresmikan pemerintah sebagai ruang terbuka publik. 

Seorang pengunjung dimintai biaya Rp. 500 ribu hanya karena memotret di area taman. 

Setelah ditelusuri, pungutan itu berasal dari komunitas tertentu yang merasa punya hak khusus di spot tersebut dengan alasan biaya internal.

Kasus lain muncul di Alam Sutera. 

Seorang fotografer yang sedang memotret untuk kebutuhan komersial menerima pesan dari fotografer lain. 

Isinya teguran, katanya lapaknya sudah dilaporkan ke satpam. 

Sejak kapan ruang publik bisa jadi milik kelompok?

Perdebatan di media sosial pun panjang. 

Saat ruang publik diperlakukan sebagai lapak, lahir batas baru. 

Bukan pagar fisik, melainkan rasa memiliki yang disokong kebiasaan dan kebutuhan ekonomi.

Di satu sisi, ruang publik seharusnya terbuka untuk semua. 

Di sisi lain, ada individu atau komunitas yang merasa lebih berhak karena sudah lama nongkrong, sering hadir, atau punya koneksi. 

Ketegangan antara hak akses umum dan klaim informal makin sering muncul. 

Bukan hanya di fotografi, tapi juga di kerja kreatif lain yang mengandalkan ruang publik.

Dari Bertahan Hidup ke Menguasai Ruang

Cara pandang kita terhadap ruang publik terkait erat dengan realitas ekonomi hari ini. 

Pekerjaan formal tidak mudah diakses, terutama bagi anak muda atau mereka yang hidup dari karya kreatif. 

Banyak yang mencari pemasukan dari cuan outdoor.

Memotret di ruang publik jadi strategi yang logis. 

Tidak perlu sewa studio, tidak butuh izin khusus, dan ada calon klien yang jelas. 

Spot yang ramai dan estetik punya nilai ekonomi tinggi. 

Mereka yang datang lebih awal, punya jaringan, dan paham aturan tak tertulis, tentu lebih diuntungkan.

Masalahnya, persaingan yang tadinya wajar bisa berubah jadi perebutan wilayah. 

Niat bertahan hidup pelan-pelan bergeser menjadi dorongan untuk menguasai tempat demi menjaga pemasukan. 

Rasa memiliki yang awalnya manusiawi berubah menjadi sikap menjaga wilayah, seolah ruang publik adalah lahan dagang pribadi.

Di titik ini, kita gampang lupa. 

Bertahan hidup bukan alasan untuk menutup akses orang lain. 

Ketika satu kelompok mulai menguasai ruang, pihak lain mundur. Kesempatan berkarya menyempit.

Apakah Kita Sedang Mengambil Hak Orang Lain?

Pertanyaan ini pantas kita ajukan, terutama bila kamu atau saya pernah merasa punya hak khusus di ruang publik. 

Semakin sering kita berada di satu tempat, semakin mudah muncul rasa memiliki. 

Wajar, tetapi berisiko jika tidak disadari.

Tanpa niat jahat, kita bisa saja menutup akses orang lain hanya karena merasa lebih berhak. 

Polanya halus. 

Mulai dari menegur, merasa berhak mengatur, sampai menjadi penguasa informal sebuah spot. 

Alasannya untuk menjaga rezeki. 

Dampaknya ruang publik terasa eksklusif bagi segelintir orang.

Bagi pendatang baru, situasi seperti ini bikin ciut nyali. 

Mereka yang baru belajar atau ingin mencoba akhirnya merasa tidak punya ruang. 

Takut dikomentari, khawatir diusir halus, dan pada akhirnya memilih mundur.

Jadi, bagaimana caranya menjaga ruang publik tetap milik bersama tanpa membiarkan rasa memiliki berubah menjadi penguasaan? 

Bisakah ruang dan peluang dibagi, sambil tetap saling dukung di tengah persaingan?

-

Ruang publik memang tidak benar-benar netral, apalagi ketika begitu banyak aspek hidup bertaut dengan ekonomi. 

Namun kita masih bisa memilih untuk adil dan berbagi. 

Di balik kamera dan karya, semua orang sedang berjuang. 

Hanya saja, tempat kita berdiri tidak dimiliki siapa pun.

Jika ruang publik berubah menjadi lapak, suatu hari mungkin tidak ada lagi ruang yang sungguh-sungguh publik. 

Mari kita jaga bersama. Biarlah ruang ini tetap untuk semua. 

Jangan sampai keinginan bertahan hidup membuat kita lupa berbagi, dan lupa bahwa ruang publik diciptakan untuk semua orang.

Posting Komentar untuk "Lapak Motret dan Rasa Memiliki yang Diam-Diam Menguasai Ruang Publik"