Saya cuma bisa tertegun waktu menonton ulang cuplikan rapat paripurna DPR yang mengesahkan KUHAP Baru. Bukan karena isi pasal-pasalnya yang memang bikin banyak orang geleng-geleng.
Tapi lebih karena proses sebelum mereka mengetuk palu. Ada satu momen yang rasanya absurd: seluruh anggota DPR yang hadir setuju. Bulat. Tanpa satu pun yang menentang.
![]() |
| Ilustrasi gedung DPR (dibuat dengan AI) |
Ini terjadi persis saat kelompok masyarakat sipil sedang ramai-ramai memprotes di luar pagar DPR.
Jujur, saya merasa sesuatu yang nggak beres. Ada jurang lebar antara legitimasi formal (alias prosedur sah sesuai hukum) dan legitimasi substansi (apakah publik benar-benar merasa diwakili atau didengar).
DPR memang sudah memenuhi prosedur. UU ini katanya lahir setelah partisipasi bermakna, proses panjang, dan lain-lain.
Kalau mau jujur, pendapat saya sederhana saja. Persetujuan bulat di rapat paripurna ini bukan cuma efisiensi politik. Tapi menandakan krisis representasi yang lebih parah.
Konsensus di DPR malah membunuh fungsinya sendiri. Sebagai penyalur suara keberatan rakyat.
Saya mau mengajak kamu bukan cuma ribut soal isi pasal-pasalnya. Tapi sekalian bertanya. Masih sehat nggak sih fungsi DPR setelah UU KUHAP Baru disahkan?
DPR Sudah Kehilangan Fungsi Kontrol?
Normalnya kalau ada RUU yang efeknya besar, apalagi ramai diprotes, saya selalu menunggu ada anggota yang angkat tangan.
Setidaknya sekadar menyatakan keberatan atau minta penjelasan. Bukannya itu inti dari dewan perwakilan?
Yang terjadi malah sebaliknya, semuanya serba sunyi. Rasanya aneh, dari 242 anggota yang hadir, nggak ada satu pun yang merasa perlu menyela, apalagi menolak.
Padahal, protes tentang sejumlah pasal yang dikhawatirkan bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang jelas-jelas sudah lama disuarakan kelompok masyarakat sipil.
Bisa jadi, konsensus solid di dalam ruang sidang ini buah lobi tingkat tinggi. Tapi justru di situ letak masalahnya.
Kesolidan macam ini bukan tanda kekuatan demokrasi, tapi malah kecacatan. DPR hanya jadi tukang stempel undang-undang.
Harusnya, mereka jadi katup pengaman buat suara-suara yang nggak didengar pemerintah.
Begitu tidak ada interupsi sama sekali, artinya keberatan rakyat sudah “dinetralisir” oleh mesin politik. DPR gagal total jadi arena debat. Yang menampung keragaman pendapat publik.
Malah mereka memilih jalan sunyi. Sekadar formalitas melegalkan apa yang sudah jadi kehendak elite.
Diam-Diam, Ada Pengkhianatan terhadap Kepercayaan Publik
DPR bilang prosesnya sudah melibatkan lebih dari 130 masukan dan partisipasi publik yang bermakna. Tapi justru klaim ini yang bikin tambah ironis.
Kalau partisipasi itu memang nyata, kenapa suara paling keras dari masyarakat. Terutama soal kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan. Nggak terdengar sama sekali di akhir pengambilan keputusan?
Menurut saya, persetujuan aklamasi tanpa satu pun suara minoritas itu sebenarnya bentuk pengkhianatan diam-diam. Bukan lewat penolakan terang-terangan. Tapi dengan cara membiarkan suara bulat lewat begitu saja.
Secara nggak langsung, DPR bilang. Bahwa kepentingan politik kami lebih penting daripada menampung aspirasi publik.
Bukankah seharusnya anggota dewan itu mewakili konstituennya? Apalagi dalam isu besar seperti UU KUHAP Baru, yang menyangkut hak-hak sipil.
DPR seharusnya jadi benteng terakhir pengawasan. Tapi begitu mereka memilih diam dan setuju saja. Mereka sendiri yang meninggalkan mandat itu.
Imbasnya? Kepercayaan publik bisa benar-benar tergerus. Proses legislasi makin terlihat cuma formalitas buat melegitimasi kepentingan elite politik.
Hukum yang lahir dari proses nir-dukungan substansi publik, gampang ditolak masyarakat waktu diterapkan di lapangan.
Kalau dipikir-pikir lagi dari awal. Mulai dari suara bulat 242 anggota sampai heningnya ruang paripurna. Maka pelajaran yang bisa diambil dari pengesahan UU KUHAP Baru pahit banget.
Bahwa legitimasi formal bisa saja diraih. Tapi risikonya kehilangan legitimasi yang lebih penting. Yaitu legitimasi substansial.
Krisisnya bukan cuma soal siapa yang punya kekuasaan. Tapi juga kegagalan moral dan representasi dari anggota DPR yang lebih memilih diam.
Kita perlu sadar. Bahwa ukuran kesehatan demokrasi ada pada seberapa keras suara rakyat bisa menembus tembok ruang dewan.
Dalam kasus KUHAP Baru dan gelombang protes kemarin, suara ini benar-benar terasa sudah mati.

Posting Komentar untuk "Ketika Wakil Rakyat Mengabaikan Protes KUHAP Baru"